Archive

Posts Tagged ‘puisi’

Puisi dan Indeksasi Realitas

August 7, 2011 Leave a comment

Oleh Cecep Syamsul Hari

 

I believe there is a poetry in everyday life

and that the poet is one

who tries to stay awake to that.

(Brendan Kenelly)

 

Marilah kita mulai dengan Ignas Kleden. Penulis Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan ini menulis bahwa kesulitan dengan politik Indonesia selama ini adalah perubahan politik dan perubahan sosial lebih cenderung dipahami secara prosais dan bukannya puitis.[1] Belajar dari para teoretisi pascakolonial, tampaknya juga dari Aristoteles dan Bismarck, Ignas Kleden sampai pada kesimpulan  bahwa puisi dan politik berjumpa dalam serba kemungkinan. Politik jelas bukan puisi, tetapi keduanya hidup di atas ambivalensi yang sama. Bagi puisi, ambivalensi itu berarti bahwa makna puisi dapat ditarik ke titik yang satu atau ke titik yang lain; bahwa dari satu sajak yang sama, tiap orang dalam keadaan yang amat berbeda dan bahkan bertentangan, dapat memperoleh makna yang cocok dan relevan untuk situasinya masing-masing.

Pernyataan bahwa makna puisi dapat ditarik ke titik yang satu atau ke titik yang lain, dan bahwa tiap orang dalam keadaan yang amat berbeda dan bahkan bertentangan dapat memperoleh makna yang cocok dan relevan untuk situasinya masing-masing, pada hemat saya, di satu sisi merupakan nasib baik para penyair, dan pada sisi yang lain dapat merupakan kesialan mereka. Yang terakhir ini tentu saja tidak berlaku bagi para penganut antisubjektivisme yang percaya bahwa ketika sebuah puisi telah berada di tangan sang pembaca, maka pada saat yang bersamaan sang penciptanya telah kehilangan seluruh hubungannya dengan puisi itu, termasuk kesempatan untuk menafsirkan kembali dan untuk menerima atau menolak suatu penafsiran. Namun, tulisan ini dimaksudkan bukan untuk memperbincangkan lebih jauh persoalan itu.

Di luar semua pemikiran kesusastraan dan kebahasaan konvensional yang secara akademik diwariskan turun-temurun, pertanyaan dasarnya adalah: Apakah semua puisi memiliki kandungan bahasa konotatif? Dan apakah semua puisi bersifat, dan dengan demikian memiliki makna, ambivalen?

Jauh di masa silam, kaisar Yuryaku (418-479 M.), dalam Daisaku Ikeda (1974:29), menulis puisi ini: Keranjangmu, keranjang mungil/ Tajakmu terlalu kecil/ Nona, yang menjumput bunga di gigir bukit/ Kepadamu aku bertanya: Siapa namamu?/ Seluruh negeri Yamato/ Luas nian kuasaku/ jauh sungguh pengaruhku/ Maka, katakan padaku/ Di mana rumahmu, siapa namamu//. Sementara itu, pada pertengahan abad ke-20, Sitor Situmorang (1994:4) dengan gaya pantun berkait menulis puisi “Lagu Gadis Itali” (buat Silvana Maccari) yang indah ini: Kerling danau di pagi hari/ Lonceng gereja bukit Itali/ Jika musimmu tiba nanti/ Jemputlah abang di teluk Napoli// Kerling danau di pagi hari/ Lonceng gereja bukit Itali/ Andai abang tak kembali/ Adik menunggu sampai mati// Batu tandus di kebun anggur/ Pasir teduh di bawah nyiur/ Abang lenyap hatiku hancur/ Mengejar bayang  di salju gugur//.

Membaca puisi pertama yang pendek dan sangat terkenal itu, utusan sebuah masa dari lebih seribu lima ratus tahun yang lalu, yang merefleksikan alunan kehidupan pada tahap-tahap awal perkembangan kebudayaan Jepang dan memperoleh pengkhidmatan ditempatkan sebagai pembuka Manyoshu, antologi puisi terbesar dalam kesusastraan klasik Jepang, maupun puisi kedua yang juga relatif pendek karya “si anak hilang”, kita segera terkesan oleh kekuatan struktur estetisnya yang dianyam dengan aksentuasi kuat pada rhytm, tidak terlalu peduli pada simbol dan alegori, dan mengeksplorasi apa yang oleh penyair Amerika, Walt Whitman, disebut sebagai simple and unadorned diction.

Secara umum, baik sajak pertama maupun sajak kedua yang perbedaan usianya berabad-abad itu memiliki rhytm yang kuat dan diksi keduanya tanpa hiasan. Setiap kata dan frase mengarah pada makna yang akan ditarik sebagai makna tunggal atau yang telah menjadi pengetahuan bersama (keranjang mungil, nona, bunga, gigir bukit, lonceng gereja, teluk Napoli, abang, salju gugur). Betul, pada sajak pertama terdapat kata bunga yang  mungkin berubah menjadi simbol dan dapat menjadi bejana makna konotatif, sementara pada sajak kedua masih dapat ditemukan frase-frase alegoris kerling danau, musimmu tiba, dan mengejar bayang, yang jika kata-kata dan frase-frase tersebut diusir dari konteks baris atau kalimatnya, boleh jadi akan bermakna plural. Namun, karena puisi salah satunya dibangun di atas prinsip keutuhan (unity), jikapun kata-kata dan frase-frase itu dimaknai secara konotatif, pencarian dan pilihan makna konotatifnya  akan bersifat sangat terbatas dan dikembalikan pada keseimbangan dan keselarasan kata dan frase-frase itu dengan konteks baris, kalimat, dan keseluruhan unsur dalam maupun unsur luar yang menganyam struktur makna puisi tersebut.

Dapatlah dikatakan—sekurang-kurangnya dengan merujuk pada cahaya pemikiran Whitman yang di kemudian hari berpengaruh terhadap munculnya teori-teori prosody para penganjur aliran Unanimisme di Perancis itu—bahwa yang menggiring puisi memiliki makna konotatif dan oleh karena itu mengandung ambivalensi makna adalah simbol-simbol dan alegori yang terdapat di dalamnya. Jika sebuah puisi tidak mengandung kedua hal itu tetapi mengandung unsur-unsur dalam dan luar yang seharusnya puisi miliki, maka ia tetap disebut puisi. Hanya, ke dalam dirinya tidak dapat dipaksakan suatu makna konotatif dan ambivalensi makna, seperti telah kita lihat pada dua sajak karya Yuryaku dan Sitor Situmorang di atas. Pada hemat saya, puisi yang dimaksud Ignas Kleden bukanlah puisi dari jenis ini tetapi sangat mungkin dari jenis yang lain, yaitu puisi yang di dalam dirinya mengandung kualitas indeksasi atas realitas di luar puisi.

**

Realitas hidup dan bergerak seperti udara: ideologi, sistem sosial dan sistem politik timbul dan tenggelam; bagai usia, konsep-konsep tumbuh menjadi tua dan sebagian mengikuti hukum pergeseran makna; zaman, seperti juga kekuasaan dan peristiwa, datang dan pergi seraya meninggalkan jejak pada hukum dialektika perubahan. Sebagaimana dipercaya banyak orang bijak, satu-satunya yang tidak berubah di dunia ini adalah perubahan itu sendiri.

Para penyair melibatkan diri, sedikit atau banyak, langsung atau berjarak, pada semua perubahan itu. Mereka juga menyaksikan, merefleksikan dan mencatat perubahan-perubahan itu. Pada banyak kasus, seperti yang terjadi pada Homer, Dante, Rimbaud, Hamzah Fansuri, André Breton, dan lain-lain, bahkan menjadi peretas jalan terhadap perubahan dengan mula-mula mengkritik institusi-institusi dogmatis dan mapan yang berlindung di balik otoritas mitos, kepercayaan, negara, dan cara berpikir. Suatu revolusi pemikiran. Pertemuan, influence-circle, dan resonansinya dengan berbagai lingkaran pemikiran, gerakan individu dan kelompok, yang juga memiliki tujuan yang sama, sering menghasilkan akibat yang lebih maju daripada yang dapat dibayangkan sebelumnya.

Barangkali di luar bayangan André Breton, misalnya, bahwa pemikirannya tentang surealisme di kemudian hari  membawa Igor Stravinsky dengan kepedihan dan harapan menggubah komposisi Symphony in Three Movements; gerakan anti kekerasan melebar dan bereskalasi; rasionalisme terus-menerus dihujat; absurditas menjadi gerakan perlawanan politik; dan gaya penulisan yang didasarkan pada konsep penjajaran  kata-kata (juxtaposition) yang mengejutkan, gaya yang sangat disukai kaum surealis, menjadi alat kritik yang ampuh bagi banyak sastrawan Amerika Latin yang menulis setelah Perang Dunia II  terhadap rezim diktator militer di kawasan itu.

Tidak semua realitas dapat jelas terlihat: bayangan tampak jika ada benda dan cahaya; selalu ada epifenomena di balik setiap fenomena; esensi suatu perubahan biasanya terpahami kemudian; dan kebenaran dari suatu kejadian atau peristiwa adalah lebih banyak yang tidak terungkapkan daripada yang dapat diungkapkan. Sebagian puisi di dalam dirinya memiliki kualitas (yang tidak dimiliki perangkat-perangkat pendekatan objektivisme-empiris) untuk melihat dengan jelas realitas: menjadi cahaya yang memungkinkan kita melihat bayangan, memasuki epifenomena, memahami suatu esensi perubahan bahkan ketika perubahan itu masih sedang berjalan, dan mengungkapkan yang tak terungkapkan. Suatu kualitas indeksasi realitas yang dapat disejajarkan dengan indexical expression yang diluncurkan penganjur etnometodologi dalam sosiologi, Harold Garfinkel (1967: passim). Kualitas tersebut memberi puisi suatu fungsi indeksan berbagai fenomena, kejadian, peristiwa, dan perubahan. Dengan kata lain, suatu indeksasi atas realitas di luar puisi.

Sebagai peristiwa sejarah, perang sipil Spanyol, misalnya, sekadar catatan beberapa halaman dari sebuah ensiklopedia tentang peperangan. Akan tetapi, tidak demikian dalam sajak “Explico Alguna Cosas” atau “Kujelaskan Sedikit Saja” yang ditulis penyair Chile, Pablo Neruda (1998:13-15). Ada bayangan yang keluar dari kegelapan, sesuatu yang tak terungkapkan oleh pendekatan objektivisme-empiris yang frigid muncul melalui ungkapan subjektivitas penyair, seperti dalam petikannya berikut ini: Berhadapan denganmu telah kulihat darah/ menara Spanyol seperti pasang/  menenggelamkan engkau dalam gelombang/ keangkuhan dan pisau-pisau!/ Pengkhianatan jenderal-jenderal: lihatlah rumahku si rumah hantu/ lihatlah Spanyol yang berkeping-keping:/ dari setiap rumah yang terbakar tumbuh logam/ menggantikan bunga-bunga/ dari setiap rongga Spanyol/ muncul Spanyol/ dan dari setiap mayat anak-anak tumbuh sepucuk senapan/ dan dari setiap kekejian peluru dilahirkan/ yang suatu hari akan menemukan jiwamu sebagai sasaran//… Kemarilah dan lihatlah darah di jalan-jalan./ Datanglah dan saksikan/ darah di jalan-jalan./ Ke sini dan lihat darah/ di jalan-jalan!//.

Sementara itu, sajak “Computereality” yang ditulis penyair Inggris kontemporer, D.J. Enright (1988:7), adalah indeksan untuk persoalan-persoalan perubahan sosial yang diakibatkan kemajuan teknologi informasi dan membawa kita pada kebijaksanaan untuk memahami esensi perubahan itu, seperti terlihat dalam kutipan salah satu baitnya berikut ini: Dengan Virtual Reality (berbeda dengan apa yang kita sebut Yang Nyata) Anda dapat menjadi seorang urban, seorang dusun, berada kini dan di sini, atau di situ dan saat itu. Berbagai piaza sinar matahari atau hutan-hutan teduh siang hari, payudara yang belum pernah Anda sentuh, burung-burung tenung. Anda dapat menjadi pahlawan buruk rupa atau penjahat berhati mulia, menjadi pemilik bank atau merampoknya, mencicipi nikmatnya kekuasaan, kebahagiaan perbudakan, melakukan perjalanan kilat ke neraka, boleh juga mampir di surga.

Demikian pula sejumlah puisi Rendra, dari mulai “Sajak Pertemuan Mahasiswa” yang ditulis pada 1977 hingga “Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia”, dapat berfungsi sebagai indeksan berbagai kejadian dan peristiwa khusus ketika rezim Orde Baru berkuasa. Begitu pula puisi-puisi Taufiq Ismail atas geger pertengahan tahun 1960-an[2] dan akhir tahun 1990-an[3], dan perubahan-perubahan sosial yang mengikutinya. Dan seterusnya.

Realitas ataukah puisi, apakah yang harus membuat keduanya berjauhan bagi penyair. Di luar persoalan-persoalan tentang makna, di dalam realitas selalu terkandung puisi dan di dalam puisi senantiasa terkandung realitas. Seperti ungkapan penyair Irlandia yang mejadi lead tulisan ini, kehidupan sehari-hari adalah sebuah puisi dan penyair sekadar seseorang yang berupaya membuatnya tetap terjaga. *

(Pikiran Rakyat, 13 Juli 2000)

[1] Kompas, 1 Januari 2000.

[2] Taufiq Ismail, Tirani dan Benteng, Jakarta: Yayasan Ananda, 1993.

[3] Taufiq Ismail, Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Jakarta: Yayasan Ananda, 1999.